Andai Gus Dur punya Twitter


Internet memang mengubah kehidupan dan cara kita bersosialisasi. Pernyataan itu, saya yakin tidak berlebihan. Saya, mungkin juga termasuk Anda, tentu menghabiskan banyak waktu dalam sehari untuk sekedar mengecek timeline, mengecek status atau mencurahkan hati melalui media sosial. Salah? Ah, saya tidak dalam posisi untuk menghakimi. Pun, saya juga tidak pasti apakah hal itu salah atau tidak. 

Tapi yang jelas, sebagian dari kita lantas kebablasan memuja media sosial. Media sosial ibarat utusan Tuhan yang sabdanya sudah pasti benar dan sah adanya. Sungguh, tidak banyak pengguna media sosial yang dengan kesadaran penuh mau capek-capek menyaring informasi apalagi sampai menguji kebenaran atas informasi yang disampaikan media sosial. Merepotkan mungkin? 

Bebas dan rahasia. Ya begitulah karakter media sosial. Setiap pengguna bebas menyuarakan pikirannya melalui Medsos. Bebas menyebarkan informasi kepada pengguna lain. Entah benar, entah salah. Entah itu menyinggung pihak lain atau tidak. Di sisi lain, Medsos juga bersifat rahasia, karena identitas kita tidak selalu terekspos. Kita bisa saja menyamarkan identitas, atau menggunakan identitas palsu. Tidak ada yang tahu persis siapa kita sebenarnya, kecuali kita sendiri yang membuka diri. 

Toleransi di Titik Nadir 

Begitulah, sebagian dari kita, pengguna Medsos, lantas merasa leluasa untuk lebih vulgar menyuarakan pendapatnya. Tanpa khawatir harus menghadapi konfrontasi langsung dari pihak yang berseberangan atau yang diserang. Awalnya saya mengganggap ini angin segar bagi rakyat Indonesia yang memang hanya memiliki sedikit akses untuk mengeluarkan uneg-uneg. Tapi makin lama, rasanya kok makin kebablasan dan makin bikin gerah. 

Medsos, alih-alih dimanfaatkan sebagai media untuk menyampaikan kritik konstruktif, malah dimanfaatkan untuk menyebar kebencian. Informasi yang dipelintir, dalil dan argumen yang menyakiti orang lain, justru lebih sering bersliweran di Medsos. Memprihatinkan. 

Saya sendiri juga heran, kenapa ujaran kebencian, ajakan menyakiti pihak lain malah mendapatkan respon luar biasa dari pengguna Medsos lain. Apa yang salah dengan kita? Kenapa kita begitu mendukung kebencian dan gemar menyudutkan pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Apa yang salah dengan perbedaan? Apakah lantaran berbeda lantas kita tidak bisa saling menghargai satu sama lain? Tidak bisakah Anda menerima bahwa setiap individu sebenarnya justru diciptakan berbeda? Berbeda adalah sebuah keniscayaan. Tuhan memang menciptakan kita semua berbeda. Berbeda suku, warna kulit, kebiasaan, bahkan agama. Lalu apa perbedaan itu layak jadi alasan untuk saling membenci. Kebanyakan kebencian yang di-posting di Medsos malah saya rasa kurang berdasar. Apa dasar Anda membenci orang yang memiliki cara menyembah Tuhan yang berbeda dengan Anda? Apa dasar Anda membenci orang yang memiliki warna kulit beda dengan Anda? Toh dia tidak mengusik Anda, tidak juga melakukan perbuatan keji seperti membunuh atau memperkosa misalnya. 

Saya ingat pernah menjumpai status facebook salah satu pengguna Medsos, seorang muslim yang belum cukup ilmu, menghina kalangan penghayat dan penganut agama lain. Menyebut mereka sebagai pemuja batu dan bodoh. Parahnya, status “jahat” seperti itu malah mendapat ratusan respon, baik yang mengamini maupun yang menghujat. Saya sendiri sebenarnya sedikit tergelitik untuk menanggapi status itu. Tapi, dipikir lagi, sepertinya tidak akan ada gunanya. Hanya bakal menambah panjang debat kusir dan saling menyakiti. Sungguh sangat disayangkan, baik si pembuat status maupun, mereka yang rela membuang waktu, pikiran untuk menanggapi hal itu. 

Posting seperti itu bukan satu, dua kali tersebar di Medsos. Ada puluhan, ratusan atau bahkan jutaan posting serupa yang bertebaran. Hina menghina antar suku, ejekan dan saling sindir kota yang satu dengan kota lain juga pernah terjadi. Hanya, isu agama lah yang paling sering jadi bahan hujat menghujat di Medsos. Sungguh tingkat toleransi kita sudah nyaris menyentuh titik nadir. Membahayakan untuk sebuah bangsa yang bersatu dengan modal perbedaan. Di masa lampau, perbedaan antara kita adalah kekayaan. Dulu Nusantara ini mampu menjadi Negara digdaya karena kelihaian mengolah perbedaan. Seperti sebuah Supermarket, barang apapun yang dibutuhkan bisa kita dapatkan disitu. Hebat kan Indonesia. 

Andai Gus Dur punya Twitter 

Ah, saya jadi teringat Gus Dur. Bapak Bangsa yang nyeleneh, dan terkenal sangat toleran itu. Sejuta satu orang macam Gus Dur itu. Dia memang seorang Kiai, seorang muslim yang cerdas, brilian lagi taat. Dia cucu pendiri Nahdatul Ulama, organisasi massa muslim terbesar di Indonesia. Biar begitu, eksistensinya juga diakui, bahkan dihormati lintas agama, lintas daerah, lintas suku. Kira-kira apa yang akan di posting Gus Dur jika ia punya akun Medsos? Ooh mungkin dia akan menanggapi “perang Medsos” itu dengan santai. “Gitu aja kok repot!” 

Ya, itu Gus Dur. Atributnya sebagai seorang Kiai tidak pernah menghalangi dirinya untuk bergaul mesra dengan masyarakat non muslim, dan kaum minoritas lainnya. Level Gus Dur jelas jauh sekali bila dibandingkan dengan ekstrimis-ekstrimis yang belakangan muncul dan menyebar isu kebencian melalui banyak cara. Saya memang tidak pernah mengenal Gus Dur secara langsung. Bahkan dulu, saya termasuk kalangan yang kontra dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut saya waktu itu, tidak masuk akal. Merehabilitir nama baik eks napol PKI? Menjalin hubungan diplomatik dengan yahudi Israel? Buat bocah dengan pemikiran sempit seperti saya waktu itu, pemikiran Gus Dur adalah pemikiran konyol. Pun, ketika ia mencabut larangan perayaan imlek. Saat itu, saya sama sekali nggak paham urgensi itu semua. 

Hingga bertahun setelah itu, saat saya akhirnya “tercerahkan” dengan kondisi bangsa ini sebenarnya. Saat saya akhirnya membaca buku-buku dan tulisan tentang Gus Dur. Pahamlah saya tentang apa yang sebenarnya diperjuangkan Gus Dur. Hal sederhana yang disebut kemanusiaan dan keadilan. Orang dengan kapasitas intelektual, emosional dan spiritual setara Gus Dur tentulah memahami bahwa akar dari perpecahan adalah intoleransi. Akar dari konflik adalah ketidakadilan. Dan dari sisi spiritual, memanusiakan manusia boleh dibilang sebagai sebuah bentuk penghormatan terhadap eksistesi Tuhan itu sendiri. Maka atas dasar kemanusiaan, keadilan, dan Ketuhanan. Layaklah bila Gus Dur tergerak untuk membela kaum minoritas.

Andai Gus Dur punya akun twitter, mungkin dia akan menyindir para ekstrimis penghujat itu. Mengiritik mereka yang belum tersadarkan tentang indahnya hidup berdampingan dalam perbedaan. Tidak….tidak, bukan kritik yang menyebarkan kebencian. Tapi mungkin akan lebih mirip sebagai nasihat dari seorang maestro biola kepada seorang pebiola amatir yang masih belajar. Bukankah seorang amatir yang belum cukup ilmu kadang masih suka mengeluarkan suara sumbang saat memainkan biolanya? 

Seperti yang dituturkan Ajahn Brahm dalam bukunya “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”. 

Sewaktu kita bertemu dengan orang yang menggebu-gebu terhadap kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah proses belajar seorang pemula yang belum bisa memainkan agamanya dengan baik. Sewaktu kita bertemu dengan orang bijak, seorang maestro agamanya, itu merupakan pertemuan indah yang menginspirasi kita selama bertahun-tahun. Apapun kepercayaan mereka. Namun, satu lagi yang lebih indah dari permainan seorang maestro. Itu adalah alunan simfoni dari sebuah orchestra besar. Dimana tiap anggota orchestra adalah maestro alat musiknya masing-masing. Dan lebih hebat, karena para maestro itu telah belajar lebih dalam lagi untuk bisa bermain bersama dalam harmoni. 


Indonesia, seperti juga sebuah orchestra besar yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan simfoni indah megah yang bakal membuat kagum seantero jagad. Simfoni itu hanya bisa kita hasilkan bila kita mau belajar untuk menundukkan ego kita, dan menerima perbedaan yang lain. Itu tentu bukan hal sulit, selama kita mau. Mari kita belajar cerdas memanfaatkan medsos. Untuk menyebarkan nilai-nilai para leluhur. Toleransi!

"Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa" 
 #celebratediversity
#10tahunicrs
 

4 komentar